Kamis, 06 Januari 2011

Pelaksanakan Good Corporate Gorvenance pada Perbankan Syariah

Good Corporate Governance (GCG) menurut World Bank merupakan kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan agar menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu Negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dari dunia usaha.
Penerapan Good Corporate Governance di lembaga perbankan syariah menjadi sebuah kepercayaan yang tak terbantahkan. Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut. Perbedaan GCG syariah dan konvensional terletak pada syariah compiliance yaitu kepatuhan pada syariah. Sedangkan prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan merupakan prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan GCG konvensional.
Menurut Hessel (2001), ada tiga hal pokok penting untuk menciptakan good and clean government yaitu:
1. Pemberantasan KKN
2. Disiplin anggaran
3. Peningkatan fungsi pengawasan
Maka dapat disimpulkan mengenai prinsip-prinsip good corporate governance :
1. Keadilan (fairness)
2. Transparansi (transparency)
3. Akuntabilitas (accountability)
4. Tanggung jawab (responsibility)
5. Moralitas (morality)
6. Komitmen (commitment)
7. Kemandirian (independent)

Jika dibanding dengan para banker konvensional, maka bankir syariah seharusnya lebih unggul dan terdepan dalam implementasi GCG di lembaga perbankan, mengingat lembaga perbankan syariah membawa nama agama kedalam lembaga bisnis. Maka bankir syariah harus memainkan perannya sebagai pionir penegakan GCG di lembaga perbankan. Jika para bankir syariah melakukuan penyimpangan, hal itu tidak saja berimplikasi kepada lembaga tersebut tetapi juga kepada citra syariah. Meskipun masyarakat mengetahui bahwa hal itu kesalahan oknum tertentu, tetapi orang akan cepat menilai buruknya lembaga syariah.
Hal ini perlu menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan syariah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini ada 29 Bank yang telah beroperasi dengan prinsip syariah dan memiliki 620 kantor cabang di seluruh Indonesia. Di masa depan, kemungkinan terjadinya korupsi dan penyimpangan di bank syariah merupakan hal yang tidak mustahil, meskipun didalamnya ada Dewan Pengawas Syariah. Dengan banyaknya perbankan syariah yang muncul, maka bankir syariah pun semakin banyak juga. Maka dari itu, para jajaran eksekutif dan pejabat bank, bahkan termasuk komisaris harus ekstra hati-hati dalam mengelola lembaga perbankan syariah yang selalu dinilai “suci”, karena berasal dari prinsip agama.

Evaluasi Perbankan Syariah 2009

Pada tahun 2009 pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syari’ah di Indonesia berjalan secara organik.
Pertumbuhan perbankan syariah hanya sebesar 26,5 persen, dengan angka Rp 59,7 triliun (posisi oktober 2009). Diperkirakan akhir Desember mencapai Rp 62 triliun. Angka pertumbuhan 26,5 ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah perbankan syariah di Indonesia. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang hanya tumbuh 12,5 persen angka 26,5 masih relatif tinggi. Tetapi market share perbankan syariah terhadap bank konvensional masih 2,4 persen.
Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh tantangan dalam sistem keuangan, baik global maupun domestik. Krisis finansial yang bermula tahun 2008 telah mengganggu stabilitas sistem keuangan dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun alhamdulillah, industri perbakan syaroah dapat mempertahankan tingkat pertumbuhannya secara wajar, yang ditunjukkan dengan perrtumbuhan pembiyaan dan dana pihak ketiga. Hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas dan capaian operasional perbankan syariah secara umum berada dalam kondisi yang baik, kecuali Non Performing Financing (NPL) yang perlu mendapat perhatian, 5.5 %. (okt 2009).
Dari sisi kelembagaan, pada tahun 2009 telah hadir bank umum syariah baru, yaitu Bank Panin Syariah. Ditambah dua Unit Usaha Syariah, yaitu OCBC NISP dan Bank Sinar Mas Syariah. Dengan demikian, Bank Umum Syariah menjadi enam bank, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BRI Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank Panin Syariah. Selain itu, tumbuh pula 7 BPR Syariah baru. (Data BI oktober 2009) Dari sisi institusional ini penyebaran jaringan kantor perbankan syariah pun mengalami pertumbuhan pesat. Pada tahun 2009, outlet pelayanan mengalami penambahan sebanyak 148 kantor. Dengan demikian, kini bank syariah telah memiliki sekitar 3012 jaringan, dengan rincian 6 kantor Pusat Bank Umum Syariah, 25 kantor UUS (Unit Usaha Syariah), 1101 Kantor Cabang, 1742 office channeling (layanan bank syariah di bank konvensional) dan 138 BPRS (Data BI oktober 2009). Ini belum termasuk jaringan kantor POS yang menjadi channeling tabungan syar-e Bank Muamalat Indoensia.
Penghimpunan dan Penyaluran dana
Pada tahun 2009, jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.45,2 triliun, hanya tumbuh 18,16 persen. Angkah ini lebih rendah dibanding perrumbuhan tahun 2008 yang lalu, 42.9 persen. Hal ini dikarenakan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional Sementara itu pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan syariah 26,5 % (yoy), yaitu 46,5 Triliun. FDR (Financing to Deposit Rasio sebesar 97.5 persen. Selama tahun 2009, ROA perbankan syariah mencapai 1,2 % dan ROE mencapai 30,
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri perbankan syariah masih tumbuh secara normal Dengan kinerja pertumbuhan industri yang tetap fantantis tersebut boleh membuat para pegiat tersenyum, namun harus diingat bank-bank syariah harus ditetap dikawal, dan didesak untuk senantiasa istiqamah dalam penerapan manajemen resiko, syariah compliance dan menerapkan Good Syariah Governance. GCG Syariah yang baru diatur oleh Bank Indonesia, hendaknya benar-benar bisa diterapkan. Dewan Pengawas Syariah tidak perlu takut dengan Peraturan Bank Indonesia tersebut.

Para pengawas Syariah harus bekerja secara optimal, serta berperan aktif dan produktif, tidak boleh sungkan untuk menegur setiap penyimpangan syariah dari manajemen bank . Jika bank syariah dinilai menyimpang, akan berakibat pada resiko reputasi yang pada giliranya akan mengakibatkan risiko likuiditas.
Outlook 2010 dan Skenerio Pertumbuhan
Pada tahun 2010, bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh sejalan dengan makin pulihnya krisis keuangan global. Proyeksi untuk tahun 2010 diyakini masih sejalan dengan yang telah diformulakan dalam Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah 2008. Dalam rancangan ini, Bank Indonesia telah menetapkan visi 2010 pengembangan pasar perbankan syariah di Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN. Pada tahun 2010, implementasi Grand Strategy Public Education perbankan syariah akan dilaksanakan secara optimal .oleh Bank Indonesia dan komponen asisiai ekonomi syariah, seperti IAEI, MES, FOSSEI, ASBISINDO, PKES dan lain-lain. Karena itu bank syariah akan mengalami tetap tumbuh secara signiikan.
Skenerio Pertumbuhan
Bank Indonesia telah menproyeksikan pertumbuhan perbankan syariah nasional pada tahun 2010 menjadi 3 skenario pertumbuhan, yaitu skenerio pesimis, moderat dan optimis. Namun skenerio ini perlu dianalisis secara realistis dan faktual, sehingga ditemukan angka yang paling mendekati realita.
Pertama, Skenario Proyeksi Pesimis
• Menurut skrenerio ini, pertumbuhan berlangsung secara organic yang diproyeksikan sebesar 26% dengan total asset 72 triliun. Proyeksi ini didasarkan pada beberapa indikator, seperti recovery ekonomi domestik dan global. Pemulihan makroekonomi ini, diasumsikan akan mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Indikator lainnya adalah semakin massifnya keberhasilan edukasi publik dan promosi perbankan yang dilakukan baik oleh Bank Indoensia sendiri, bank-bank syariah dan organisasi assosiasi seperti IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) yang memiliki jaringan luas di seluruh Perguruan Tinggi Indonesia dan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Pada tahun lalu, Bank Indonesia membuat skenerio pesimis di mana targetnya hanya 57 triliun. Alhamdulillah ternyata, target ini terlampaui, karena asset bank syariah pada akhir 2009 lebih dari 60 triliun. Untuk tahun 2010 diproyeksikan, skenerio pesimis sebesar 72 triliun, juga akan terlampaui.
Kedua, Skenario Proyeksi Moderat
• Menurut skenerio ini pertumbuhan bank syariah diproyeksikan mencapai 43 %, dengan total asset Rp 97 triliun. Proyeksi moderat ini didasarkan pada beberapa indikator, yaitu indikator pada skenerio pertama di atas, juga indikator masuknya investor baru melalui pendirian bank Islam baru, atau membeli dan menyuntikkan modal di bank-bank Islam yang ada. Pada tahun 2010 akan berdiri Bank Umum Syariah yang baru seperti BCA Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, BNI Syariah dan Bank Victoria Syariah. Kelahiran bank umum ini dipastikan akan mendongkrak pertumbuhan bank syariah secara signifikan.
• Dengan semakin besarnya asset perbankan syariah, maka biaya program promosi bank syariah makin besar, sehingga pengetahuan masyarakat makin meningkat yang pada gilirannya mereka akan memilih bank syariah dalam transaksi perbankan.
• UU No 42/2009 yang menghapus Pajak Pertambahan Nilai Murabahah akan mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui peran investor asing.
• Upgrade HR persyaratan baik kuantitas dan kualitas. Semakin banyak Perguruan Tinggi yang melahirkan sarjana Ekonomi Islam yang berkualitas, dan semakin banyak dosen ekonomi Islam yang menyebarkan ekonomi Islam.

• Selain itu, sejumlah ulama muda yang memahami ekonomi Islam melalui pendidikan S2 dan S3 akan semakin banyak. Mereka adalah alumni Universitas Timur Tengah yang kuliah S2 dan S3 ekonomi Islam, Mereka akan menjadi da’i-dai yang cerdas tentang ilmu ekonomi dan perbankan Islam. Kehadiran mereka diperkirakan akan menggeser pandangan sempit masyarakat dan tokoh agama yang sering menyamakan bank syariah dengan bank konvensional. Ghirah dan semangat juang mereka demikan tinggi, karena mereka telah memahami secara ilmiah dan empiris betapa riba, gharar dan maysir menjadi punca kehancuran ekonomi dunia dan Indoneaia.

Skenario Proyeksi Optimis
• Menurut skenerio ketiga, pertumbuhan bank syariah diproyeksikan mencapai 81 %, dengan total asset Rp 124 triliun. Indikatornya ialah, semua skenario asumsi moderat di atas. Indikator berikutnya ialah insentif kebijakan dan peraturan moneter dan fiskal oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. terkait dengan industri perbankan Islam. Indikator lainnya penegmbangan perbankan dan keuangan Islam menjadi program pemerintah, seperti pengelolaan dana haji oleh bank-bank Islam, konversi bank milik Negara menjadi syariah dan penempatan dana daerah di bank milik daerah yang sudah memiliki UUS syariah, Proyeksi ketiga ini sangat sulit tercapai dan masih jauh dari harapan, karena kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi bank BUMN menjadi syariah masih jauh api dari panggang. Demikian pula penempatan seluruh dana haji di bank syariah. Kesulitan ini, karena pemerintah belum serius dalam mengupayakan terciptanya ekonomi berkeadilan ini, disebabkan alasan duniawi sempit dan ketidakfahaman mereka tentang economics yang sophisticated ini.
Dari tiga skenerio yang dikemukakan di atas, skenerio yang paling mungkin dicapai adalah skenario pesimis, yaitu sebesar Rp 72 triliun. Namun saya memprediksikan, asset bank syariah akan melampaui angka tersebut, dikarenakan kehadiran empat bank umum syariah baru. Kehadiran bank umum syariah baru ini dipredikasikan akan mendongkrak pertumbuhan asset sebesar Rp 8 sampai 9 triliun. Seandainya bank syariah tumbuh sebesar 20 persen saja (secara organic), tidak termasuk asset 4 bank umum syariah yang alan hadir, diperkiraan asset bank syariah sudah mencapai 72 triliun. Berdasarkan perkiraan itu, maka saya memperkirakan asset bank syariah hanya akan tumbuh menjadi 81 triliun di akhir Desember 2010 mendatang. Dengan demikian, skenerio moderat yang dibuat Bank Indonesia, yaitu 97 triliun masih jauh, apalagi skenerio optimis, tentu makin jauh panggang dari api.

Bank Syariah Mandiri juga membuat tiga skenerio perrtumbuhan bank syariah, Pertama skenerio affordable yaitu sebesar 85 triliun, Kedua skenerio moderat, 89 triliun dan ketiga skenerio aggressif sebesar 95 triliun. Dari tiga skenerio tersebut yang paling mungkin terjangkau (affordable) ialah skenerio pertama, di mana asset bank syariah bertengger di angka Rp 85 triliun, Namun menurut saya angka inipun tidak akan tercapai, karena persentase pertumbuhan bank syariah diperkirakan 30-35 % saja. Sedangkan, jika asset bank syariah 85 triliun, itu berarti pertumbuhan bank syariah lebih dari 40 %.

Pilar-Pilar Pengembangan Prioritas
Dalam tulisan Agustianto (2007), disebutkan setidaknya ada 10 pilar pengembangan perbankan syariah. Sepuluh pilar ini tidak diuraikan di sini, karena keterbatasan ruang. Maka, yang disajikan hanya 5 prioritas / utama :
• Peningkatan Kualitas SDM. Untuk menjadi bank syariah yang terkemuka di ASEAN, SDM bank syariah harus memiliki kompetensi yang unggul dan profesional. Pelayanan yang memuaskan masih masih menjadi unsur utama dalam penmgembangan perbankan syariah. Untuk itu bank syariah seharusnya mempriotaskan pembinaan SDM ini dan mengalokasikan dana yang sesuai.
• Penguatan Modal; Pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun 2010 khususnya Dana Pihak Ketiga (DPK) harus diikuti peningkatan modal sehingga CAR-nya dalam posisi yang kuat yang pada gilirannya membuat perbankan syariah memiliki daya dukung keuangan capital yang memadai. Modal yang kuat akan memungkinkan bank syariah meluaskan sarana jaringan bank syariah. Keluasan jaringan kantor akan secara signifikan mendongkrak p[ertumbuhan.
• Peningkatan Efisiensi; Mempertahankan dan meningkatkan kinerja dan daya saing perbankan syariah melalui peningkatan efisiensi yang ditempuh dengan jalan financial deepening dengan memperkaya variasi poduk dan jasa dan tetap menjaga kepatuhan pada prinsip syariah, termasuk instrumen pasar uang syariah.
• Peningkatan Kualitas Sistem Pengawasan; Tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah dalam aspek operasional (kehati-hatian) membutuhkan peningkatan baik kualitas pengawasan maupun infrastruktur pengawasan. Di sini dibutuhkan pengawas yang memiliki integritas tinggi, agar sistem pengawasan ala Bank Century tidak terjadi pada pengawasan bank syariah.
• Peningkatan Pengawasan Perbankan Syariah; Untuk mengoptimalkan pengawasan syariah dalam rangka memastikan tegaknya syariah compliance dalam operasi perbankan, maka PBI baru No 11/2009 tentang Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Syariah, harus benar-benar diterapkan secara konsisten. Bank Indonesia harus tegas dan berani. Seorang tokoh yang mengawasi 4 atau 3 bank syariah besar, harus ditinjau kembali. Personil Dewan Pengawas Syariah jangan hanya beredar di kalangan Anggota DSN saja. Harus melibatkan pakar-pakar syariah yang memahami perbankan dan aspek fiqh secara mendalam, meskipun mereka di luar lingkaran DSN. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mendukung pertumbuhan industri perbankan syariah yang kompetitif dan efisiensi dengan tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan pada prinsip syariah.
Aspek teknologi sengaja tidak dimasukkan dalam pilar ini, karena sebagian bank syariah telah sama kualitas teknologinya dengan bank-bank konvensional, seperti bank BNI Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, Bank CIMB Niaga, Bank Muamalat dan Bank Meda syariah dan lain-lain.

Bentuk Moral Hazard

Dalam konteks ini, Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama, bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar (fuzzy). Bentuk korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau inventaris. Korupsi tidak langsung dapat berwujud dalam nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga, sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan “dana taktis”. Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum.

Bentuk korupsi lainnya ialah seperti nepotisme penyaluran kredit yang mengurangi potensi pendatapan bank, nepotisme penerimaan pegawai atau promosi pegawai. Hal ini dapat menzalimi orang lain yang lebih baik, berkualitas dan lebih berhak. Sedangkan korupsi samar-samar merupakan bentuk yang paling potensial sering terjadi, karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar. Contoh berikutnya adalah menggunakan fasilitas asuransi jabatan yang berlebihan, mendapatkan bonus yang melebihi batas kewajaran, mendapatkan pendapatan tambahan yang ditutupi dengan label success fee, atau pegawai yang sering mankir darin tugas dengan berbagai alasan.

Semua bentuk korupsi, baik langsung, tidak langsung maupun samar-samar adalah korupsi yang harus diberantas dengan aturan GCG (Good Corporate Governance) yang jelas. Karena itu, lembaga pengawasan, lembaga audit, dan masyarakat, harus tetap kritis terhadap bank syari’ah. Jangan terpana dengan label syari’ah, karena bisa saja lembaga memakai label syari’ah tetapi prakteknya tidak sepenuhnya syari’ah. Dalam konteks penerapan GCG di bank syari’ah, para bankir syari’ah, harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Kalau tidak, jangan menjadi praktisi bankir syari’ah karena dikhawatirkan mereka hanya akan merusak citra “kesucian” syari’ah di masa yang akan datang.

Nabi Muhammad adalah pelopor penegakan moral dalam setiap aspek kehidupan. Ia bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai bisnis yang diajarkan dan dipraktekan Nabi Muhammad Saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG yang dikembangkan saat ini.




Mewaspadai Moral Hazard


Bahwa praktek moral hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan. Kita sering mendengar berita korupsi di berbagai lembaga perbankan, baik bank BUMN maupun bank swasta. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi para steakholders bank syari’ah, baik pemilik/ pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan (kru,) Dewan Pengawas Syari’ah, nasabah dan para akademisi ekonomi syari’ah lainnya. Hal ini perlu menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan syari’ah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini ada 29 Bank yang telah beroperasi secara syari’ah dan memiliki lebih dari 620 kantor di seluruh Indonesia.

Di masa depan, kemungkinan terjadinya korupsi dan penyimpangan di bank syari’ah merupakan hal tidak mustahil, meskipun di situ ada Dewan Pengawas Syari’ah, karena para pelakunya bukan malaikat. Apalagi sekarang ini perbankan syari’ah semakin banyak, maka para bankir syari’ah pun semakin bertambah banyak pula. Sehubungan dengan itu para jajaran eksekutif dan pejabat bank, bahkan termasuk komisaris harus ekstra hati-hati dalam mengelola lembaga perbankan syariah yang selalu dinilai “suci” , karena berasal dari prinsip ilahiyah. Harus dimaklumi, bahwa simbol agama tidak menjamin sebuah lembaga menjadi bersih dari perilaku korupsi. Karena oknum seringkali tergoda oleh harta dunia. Departemen Agama misalnya saat ini sedang diincar oleh tim BPK sehubungan dengan dugaan adanya penyimpangan di bidang urusan haji.

Sebelum terjadinya kasus yang bisa mencoreng lembaga syariah , maka sejak dini perlu diingatkan kepada pihak-pihak terkait agar berkomitmen menjauhi setiap penyimpangan di bank syari’ah.

Bankir Syari’ah pionir penegakan GCG

Jika dibanding dengan para bankir konvensional, maka bankir syari’ah seharusnya lebih unggul dan terdepan dalam implementasi GCG di lembaga perbankan, mengingat lembaga perbankan syari’ah membawa nama agama ke dalam lembaga bisnis. Tegasnya, bankir syari’ah harus memainkan perannya sebagai pionir penegakan GCG di lembaga perbankan. Jika para bankir syari’ah melakukan penyimpangan dan moral hazard, hal itu tidak saja berimplikasi kepada lembaga tersebut tetapi juga kepada citra syari’ah. Meskipun masyarakat mengetahui bahwa hal itu kesalahan oknum tertentu. Tetapi orang akan dengan cepat menilai bahwa lembaga syariah saja melakukan moral hazard, apalagi lembaga konvensional.

Keharusan tampilnya bankir syari’ah sebagai pionir penegakan GCG dibanding konvensional, menurut Algaoud dan Lewis (1999) karena permasalahan governance dalam perbankan syariah ternyata sangat berbeda dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip syariah (shariah compliance) dalam menjalankan bisnisnya. Karenanya, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memainkan peran yang penting dalam governance structure perbankan syariah. Kedua, karena potensi terjadinya information asymmetry sangat tinggi bagi perbankan syariah maka permasalahan agency theory menjadi sangat relevan. Hal ini terkait dengan permasalahan tingkat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana nasabah dan pemegang saham. Karenanya, permasalahan keterwakilan investment account holders dalam mekanisme good corporate governance menjadi masalah strategis yang harus pula mendapat perhatian bank syariah (Archer dan Karim, 1997). Ketiga, dari perspektif budaya korporasi, perbankan syariah semestinya melakukan transformasi budaya di mana nilai-nilai etika bisnis Islami menjadi karakter yang inheren dalam praktik bisnis perbankan syariah (Sigit Pramono,2002).

Rabu, 05 Januari 2011

PENERAPAN GCG DI ASTRA

Good Corporate Governance perlu diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia karena beberapa hal:
1. Krisis di Indonesia yang diakibatkan masih banyaknya para pelaku dunia usaha belum secara sempurna menerapkan praktek-praktek Good Corporate Governance.
2. Tingkat inefisiensi yang tinggi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia, merupakan akibat dari tidak adanya pelaksanaan transparansi dan prinsip-prinsip GCG lainnya.
3. Iklim globalisasi mendorong perusahaan untuk selalu harus siap untuk bersaing ketat dengan perusahaan dari negara asing, paling tidak dalam tingkat regional.
4. Corporate citizen hanya dapat berjalan dengan penerapan prinsip-prinsip GCG yang baik dan konsisten.
Peran komite audit sangat penting. Tugas dan tanggung jawabnya pun juga sangat berat. Komite audit sebagai penasehat komisaris harus mampu memastikan fungsi dewan komisaris dijalankan dengan baik secara strategis operasional dan memastikan bahwa Dewan Komisaris menjalankan fungsinya sebagai pengawas jalannya perusahaan berdasarkan aturan yang berlaku. Kementerian BUMN mempunyai harapan besar terhadap keberadaan IKAI. Melalui organisasi ini diharapkan kualitas komite audit semakin baik, khususnya dalam meningkatkan optimalisasi peran dan fungsi komite audit yang pada akhirnya terjadi peningkatan nilai (more value creation) terhadap perusahaan.
Budi Setiadharma menekankan bahwa komite audit sebagai salah satu organ yang diharapkan menjadi pilar penerapan GCG di perusahaan memiliki cakupan tugas yang sangat strategis yaitu melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan dan melaksanakan tugas penting sistem pelaporan keuangan melalui pengawasan terhadap proses pelaporan keuangan yang dilakukan. oleh manajemen dan auditor independen.
Tiga hal yang menjadi milestone penerapan GCG di Astra Group adalah:
1. Pembentukan komite audit dan fungsi dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk meningkatkan Corporate Governance, antara lain : Komite Audit, ,Komite Remunerasi dan Nominasi, Komite Eksekutif, Grup Manajemen Resiko dan Internal Audit.
2. Dikeluarkannya buku "Pedoman Etika Bisnis dan Etika Kerja" dan pengadaan survey untuk menilai pelaksanaan berbagai hal yang tercantum di dalam buku tersebut.
3. Dikeluarkannya buku "Panduan Pengelolaan Green Companies" untuk konsumsi Astra Group dan umum.

Dalam prakteknya, komite audit Astra Group telah melakukan berbagai hal, seperti
1. Menyusun Kerangka Kerja untuk Manajemen Resiko (Risk Management Framework).
2. Mengembangkan Internal Audit Charter.
3. Memantapkan pengendalian Internal.
4. Meningkatkan kesadaran akan tata kelola perusahaan (CG) dan penerapannya.
5. Meminta Dewan Komisaris untuk mengadopsi Audit Committee Charter.
6. Meminta Dewan Komisaris untuk mengadakan pertemuan rutin dengan Komite Audit dari beberapa perusahaan publik lain dalam Grup Astra untuk memastikan pendekatan yang sama dalam menangani permasalahan yang ada dalam proses penelaahan.
Menurutnya, key success factor penugasan komite audit terdiri dari
1. Independensi dan kompetensi dari para anggota Komite Audit.
2. Dukungan dari Stakeholders termasuk Direksi dan manajemen kunci perusahaan.
3. Infrastruktur sistem informasi dan pengendalian manajemen yang menunjang proses review yang efektif dan berbobot.
Sebagai penutup, is menjelaskan 3 (tiga) hal yang menjadi tantangan bagi komite audit di masa depan, yaitu:
1. Meningkatkan kompetensi dari anggota Komite Audit dan infrastruktur penunjang seperti Sistem Informasi Manajemen, Risk Management dan Internal Audit.
2. Kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest).
3. Tingkat independensi komite audit dalam mewakili pemegang saham minoritas yang cenderung rendah, mengingat komite audit dipilih oleh Dewan Komisaris yang notabene dipilih oleh pemegang saham mayoritas.
Menurut Sigid Moerkardjono pada dasarnya ruang lingkup kerja komite audit mencakup beberapa hal:
1. Menelaah informasi keuangan.
2. Menelaah ketaatan peraturan perundang-undangan.
3. Menelaah kegiatan auditor eksternal.
4. Menelaah kecukupan pemeriksaan akuntan publik.
5. Menelaah pelaksanaan resiko manajemen.
Tugas utama komite audit Bank Niaga adalah menyiapkan rencana kerja tahunan; mereview laporan kuartalan dan tahunan, merekomendasikan penunjukan auditor eksternal dan mencantumkan pendapat Komite Audit dalam Laporan Tahunan. Frekuensi rapat setidaknya 2 (dua) kali dalam sebulan dan harus membuat notulen rapat.

Dalam arus kerjanya, komite audit Bank Niaga berhubungan dengan 5 (lima) pihak yang berkaitan erat dengan tugasnya, yaitu:
1. Auditor Eksternal. Dalam hal ini komite audit akan terlibat dalam seleksi KAP, mereview ruang lingkup kerja, schedule dan fee serta evaluasi kinerja KAP.
2. Financial & Accounting Group. Yang diminta oleh komite audit adalah laporan keuangan bulanan dan consent terhadap laporan triwulan dan tahunan.
3. SKAI dan Auditor Internal. Dalam hal ini berkaitan dengan fact finding SKAI, special report, hasil pemeriksaan reguler dan hasil rapat direksi.
4. Compliance Group. Dalam hal ini berkaitan dengan kebijakan dan prosedur serta laporan Direktur Kepatuhan yang dikeluarkan per semester.
5. Risk Management Group. Dalam hal ini berkaitan dengan kajian terhadap Credit Risk, Market Risk, Liquidity Risk dan Operational Risk.
Yap Tjay Soen memandang bahwa pada prinsipnya seorang Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua komite audit harus memiliki perilaku sebagai pendengar dan pengamat yang baik, selalu haus akan informasi, fokus kepada substansi dan fokus pada beberapa topik strategis yang sangat penting. Substansi yang dimaksud adalah hal-hal yang sifatnya hi impact (memiliki dampak yang cukup besar) dan berdasarkan fakta yang tidak terbantahkan (undeniable).
Fakta-fakta yang dijadikan sebagai patokan dalam menjalankan tugas adalah
1. Peraturan dan perundang-undangan serta pedoman yang berlaku.   .,
2. Struktur finansial/akuntansi yang sangat jelas.
3. Resiko yang besar dan tidak terbantahkan (undeniable).

Hambatan-hambatan yang sering ditemui dalam praktek komite audit adalah
1. Jauhnya level aspirasi/harapan dengan-realitas yang terjadi di lapangan.
2. Penyangkalan diri. Statement bahwa "kita adalah low cost company" padahal kenyataannya tidak demikian.
3. Waktu. Dalam kenyataannya ketua komite audit tidak full time, sehingga sulit
untuk menggantungkan harapan terlalu banyak kepadanya.
4. Politisasi. Dalam hal ini pengaruh owner dalam penetapan kebijakan perusahaan.

Beberapa rekomendasi yang disarankan adalah
1. Dalam proses seleksi, komisaris independen sebaiknya dipilih dari pihak yang benar-benar independen (penekanan pada substansi, bukan bentuk) dan jelas harus memiliki kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan sebagai seorang komisaris independen.
2. Perlu adanya champion/patron (baik individu maupun badan) yang mampu menjadi payung dan pelindung terciptanya penerapan GCG di perusahaan.
3. Perlu lebih dari satu orang untuk mengarahkan perusahaan menerapkan GCG seutuhnya, jangan hanya bertumpu pada komisaris independen.
4. Perlu adanya external pressure dari publik (masyarakat) untuk membantu mendorong penerapan GCG di perusahaan.
Pada akhir diskusi panel, Kanaka Puradiredja menggarisbawahi bahwa setidaknya
terdapat 3 (tiga) pekerjaan rumah - yang terindentifikasi dalam tanya jawab - yang
harus diselesaikan oleh Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI), yaitu:
1. Penyusunan standar pelaporan Komite Audit dalam laporan tahunan.
2. Redefinisi dan optimalisasi fungsi Komite Audit sebagai stimulan terciptanya iklim pengawasan yang baik di perusahaan.
3. Penyusunan dan perumusan standarisasi remunerasi Komite Audit.
Dalam luncheon speechnya, Herwidayatmo menjelaskan bahwa berdasarkan dari krisis lalu, juga bercermin dari gelombang skandal korporasi yang baru terkuak pada awal milenium lalu, urgensi pengadopsian prinsip-prinsip GCG sekaligus penerapannya di suatu negara menjadi sesuatu yang urgen. Salah satu unsur yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya adalah komite audit. Komite audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan, serta mampu mengoptimalkan mekanisme checks and balances, yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada pemagang saham. Selain faktor tersebut, urgensi keberadaan komite audit berkaitan erat dengan belum optimainya peran pengawasan yang diemban dewan komisaris di banyak perusahaan di negara-negara korban krisis lalu -khususnya Indonesia - yang semakin diperparah dengan adanya karakteristik umum yang melekat pada entitas bisnis kita, berupa pemusatan kontrol atau pengendalian kepemilikan perusahaan di tangan pihak tertentu atau segelintir pihak saja.

Tugas pokok dari komite audit pada prinsipnya adalah membantu Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas komite audit, terdapat 4 (empat) hal penting yang perlu menjadi fokus perhatian, yaitu

1. Independensi komite audit. Dalam menjalankan tugasnya, anggota komite audit harus mampu menjaga independensinya, khususnya dari pengaruh atau campur tangan langsung maupun tidak langsung dari manajemen perusahaan.
2. Remunerasi anggota komite audit. Sejalan dengan peningkatan tanggung jawab, saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya remunerasi yang diterima komite audit, sebagaimana yang terjadi di perusahaan-perusahaan besar di Amerika.
3. Keahlian anggota komite audit. Tuntutan terhadap anggota komite audit yang qualified merupakan bagian dari upaya untuk mendorong terlaksananya tanggung jawab komite audit.
4. Beban kerja komite audit. Beban kerja komite audit di berbagai perusahaan sangat bervariasi. Namun yang patut dicermati adalah untuk mengatasi berbagai permasalahan audit klasik maupun aktual yang dihadapi perusahaan, peningkatan intensitas pertemuan atau frekuensi rapat komite audit menjadi suatu keharusan.

Berkaitan dengan Peraturan BAPEPAM No. IX.1.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, dengan mempertimbangkan dinamika bisnis dan international best practices, Herwidayatmo menyatakan akan melakukan penyesuaian dan perbaikan atas peraturan tersebut, dengan rincian sebagai berikut:
1. Dalam waktu dekat BAPEPAM akan merevisi ketentuan yang melarang anggota komite audit untuk bertugas di beberapa perusahaan.
2. Mengenai Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, dimana transaksi yang mengandung conflict of interest harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen, dipertimbangkan untuk memberikan wewenang review dan persetujuan dari komite audit terlebih dahulu.
3. Sedang dikaji pemberian kewenangan untuk merekomendasikan auditor eksternal kepada komite audit, yang saat ini merupakan kewenangan direksi.

PENERAPAN GCG DI ASTRA

Good Corporate Governance perlu diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia karena beberapa hal:
1. Krisis di Indonesia yang diakibatkan masih banyaknya para pelaku dunia usaha belum secara sempurna menerapkan praktek-praktek Good Corporate Governance.
2. Tingkat inefisiensi yang tinggi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia, merupakan akibat dari tidak adanya pelaksanaan transparansi dan prinsip-prinsip GCG lainnya.
3. Iklim globalisasi mendorong perusahaan untuk selalu harus siap untuk bersaing ketat dengan perusahaan dari negara asing, paling tidak dalam tingkat regional.
4. Corporate citizen hanya dapat berjalan dengan penerapan prinsip-prinsip GCG yang baik dan konsisten.
Peran komite audit sangat penting. Tugas dan tanggung jawabnya pun juga sangat berat. Komite audit sebagai penasehat komisaris harus mampu memastikan fungsi dewan komisaris dijalankan dengan baik secara strategis operasional dan memastikan bahwa Dewan Komisaris menjalankan fungsinya sebagai pengawas jalannya perusahaan berdasarkan aturan yang berlaku. Kementerian BUMN mempunyai harapan besar terhadap keberadaan IKAI. Melalui organisasi ini diharapkan kualitas komite audit semakin baik, khususnya dalam meningkatkan optimalisasi peran dan fungsi komite audit yang pada akhirnya terjadi peningkatan nilai (more value creation) terhadap perusahaan.
Budi Setiadharma menekankan bahwa komite audit sebagai salah satu organ yang diharapkan menjadi pilar penerapan GCG di perusahaan memiliki cakupan tugas yang sangat strategis yaitu melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan dan melaksanakan tugas penting sistem pelaporan keuangan melalui pengawasan terhadap proses pelaporan keuangan yang dilakukan. oleh manajemen dan auditor independen.
Tiga hal yang menjadi milestone penerapan GCG di Astra Group adalah:
1. Pembentukan komite audit dan fungsi dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk meningkatkan Corporate Governance, antara lain : Komite Audit, ,Komite Remunerasi dan Nominasi, Komite Eksekutif, Grup Manajemen Resiko dan Internal Audit.
2. Dikeluarkannya buku "Pedoman Etika Bisnis dan Etika Kerja" dan pengadaan survey untuk menilai pelaksanaan berbagai hal yang tercantum di dalam buku tersebut.
3. Dikeluarkannya buku "Panduan Pengelolaan Green Companies" untuk konsumsi Astra Group dan umum.

Dalam prakteknya, komite audit Astra Group telah melakukan berbagai hal, seperti
1. Menyusun Kerangka Kerja untuk Manajemen Resiko (Risk Management Framework).
2. Mengembangkan Internal Audit Charter.
3. Memantapkan pengendalian Internal.
4. Meningkatkan kesadaran akan tata kelola perusahaan (CG) dan penerapannya.
5. Meminta Dewan Komisaris untuk mengadopsi Audit Committee Charter.
6. Meminta Dewan Komisaris untuk mengadakan pertemuan rutin dengan Komite Audit dari beberapa perusahaan publik lain dalam Grup Astra untuk memastikan pendekatan yang sama dalam menangani permasalahan yang ada dalam proses penelaahan.
Menurutnya, key success factor penugasan komite audit terdiri dari
1. Independensi dan kompetensi dari para anggota Komite Audit.
2. Dukungan dari Stakeholders termasuk Direksi dan manajemen kunci perusahaan.
3. Infrastruktur sistem informasi dan pengendalian manajemen yang menunjang proses review yang efektif dan berbobot.
Sebagai penutup, is menjelaskan 3 (tiga) hal yang menjadi tantangan bagi komite audit di masa depan, yaitu:
1. Meningkatkan kompetensi dari anggota Komite Audit dan infrastruktur penunjang seperti Sistem Informasi Manajemen, Risk Management dan Internal Audit.
2. Kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest).
3. Tingkat independensi komite audit dalam mewakili pemegang saham minoritas yang cenderung rendah, mengingat komite audit dipilih oleh Dewan Komisaris yang notabene dipilih oleh pemegang saham mayoritas.
Menurut Sigid Moerkardjono pada dasarnya ruang lingkup kerja komite audit mencakup beberapa hal:
1. Menelaah informasi keuangan.
2. Menelaah ketaatan peraturan perundang-undangan.
3. Menelaah kegiatan auditor eksternal.
4. Menelaah kecukupan pemeriksaan akuntan publik.
5. Menelaah pelaksanaan resiko manajemen.
Tugas utama komite audit Bank Niaga adalah menyiapkan rencana kerja tahunan; mereview laporan kuartalan dan tahunan, merekomendasikan penunjukan auditor eksternal dan mencantumkan pendapat Komite Audit dalam Laporan Tahunan. Frekuensi rapat setidaknya 2 (dua) kali dalam sebulan dan harus membuat notulen rapat.

Dalam arus kerjanya, komite audit Bank Niaga berhubungan dengan 5 (lima) pihak yang berkaitan erat dengan tugasnya, yaitu:
1. Auditor Eksternal. Dalam hal ini komite audit akan terlibat dalam seleksi KAP, mereview ruang lingkup kerja, schedule dan fee serta evaluasi kinerja KAP.
2. Financial & Accounting Group. Yang diminta oleh komite audit adalah laporan keuangan bulanan dan consent terhadap laporan triwulan dan tahunan.
3. SKAI dan Auditor Internal. Dalam hal ini berkaitan dengan fact finding SKAI, special report, hasil pemeriksaan reguler dan hasil rapat direksi.
4. Compliance Group. Dalam hal ini berkaitan dengan kebijakan dan prosedur serta laporan Direktur Kepatuhan yang dikeluarkan per semester.
5. Risk Management Group. Dalam hal ini berkaitan dengan kajian terhadap Credit Risk, Market Risk, Liquidity Risk dan Operational Risk.
Yap Tjay Soen memandang bahwa pada prinsipnya seorang Komisaris Independen yang merangkap sebagai ketua komite audit harus memiliki perilaku sebagai pendengar dan pengamat yang baik, selalu haus akan informasi, fokus kepada substansi dan fokus pada beberapa topik strategis yang sangat penting. Substansi yang dimaksud adalah hal-hal yang sifatnya hi impact (memiliki dampak yang cukup besar) dan berdasarkan fakta yang tidak terbantahkan (undeniable).
Fakta-fakta yang dijadikan sebagai patokan dalam menjalankan tugas adalah
1. Peraturan dan perundang-undangan serta pedoman yang berlaku.   .,
2. Struktur finansial/akuntansi yang sangat jelas.
3. Resiko yang besar dan tidak terbantahkan (undeniable).

Hambatan-hambatan yang sering ditemui dalam praktek komite audit adalah
1. Jauhnya level aspirasi/harapan dengan-realitas yang terjadi di lapangan.
2. Penyangkalan diri. Statement bahwa "kita adalah low cost company" padahal kenyataannya tidak demikian.
3. Waktu. Dalam kenyataannya ketua komite audit tidak full time, sehingga sulit
untuk menggantungkan harapan terlalu banyak kepadanya.
4. Politisasi. Dalam hal ini pengaruh owner dalam penetapan kebijakan perusahaan.

Beberapa rekomendasi yang disarankan adalah
1. Dalam proses seleksi, komisaris independen sebaiknya dipilih dari pihak yang benar-benar independen (penekanan pada substansi, bukan bentuk) dan jelas harus memiliki kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan sebagai seorang komisaris independen.
2. Perlu adanya champion/patron (baik individu maupun badan) yang mampu menjadi payung dan pelindung terciptanya penerapan GCG di perusahaan.
3. Perlu lebih dari satu orang untuk mengarahkan perusahaan menerapkan GCG seutuhnya, jangan hanya bertumpu pada komisaris independen.
4. Perlu adanya external pressure dari publik (masyarakat) untuk membantu mendorong penerapan GCG di perusahaan.
Pada akhir diskusi panel, Kanaka Puradiredja menggarisbawahi bahwa setidaknya
terdapat 3 (tiga) pekerjaan rumah - yang terindentifikasi dalam tanya jawab - yang
harus diselesaikan oleh Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI), yaitu:
1. Penyusunan standar pelaporan Komite Audit dalam laporan tahunan.
2. Redefinisi dan optimalisasi fungsi Komite Audit sebagai stimulan terciptanya iklim pengawasan yang baik di perusahaan.
3. Penyusunan dan perumusan standarisasi remunerasi Komite Audit.
Dalam luncheon speechnya, Herwidayatmo menjelaskan bahwa berdasarkan dari krisis lalu, juga bercermin dari gelombang skandal korporasi yang baru terkuak pada awal milenium lalu, urgensi pengadopsian prinsip-prinsip GCG sekaligus penerapannya di suatu negara menjadi sesuatu yang urgen. Salah satu unsur yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya adalah komite audit. Komite audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan, serta mampu mengoptimalkan mekanisme checks and balances, yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada pemagang saham. Selain faktor tersebut, urgensi keberadaan komite audit berkaitan erat dengan belum optimainya peran pengawasan yang diemban dewan komisaris di banyak perusahaan di negara-negara korban krisis lalu -khususnya Indonesia - yang semakin diperparah dengan adanya karakteristik umum yang melekat pada entitas bisnis kita, berupa pemusatan kontrol atau pengendalian kepemilikan perusahaan di tangan pihak tertentu atau segelintir pihak saja.

Tugas pokok dari komite audit pada prinsipnya adalah membantu Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi pengawasan atas kinerja perusahaan. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas komite audit, terdapat 4 (empat) hal penting yang perlu menjadi fokus perhatian, yaitu

1. Independensi komite audit. Dalam menjalankan tugasnya, anggota komite audit harus mampu menjaga independensinya, khususnya dari pengaruh atau campur tangan langsung maupun tidak langsung dari manajemen perusahaan.
2. Remunerasi anggota komite audit. Sejalan dengan peningkatan tanggung jawab, saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya remunerasi yang diterima komite audit, sebagaimana yang terjadi di perusahaan-perusahaan besar di Amerika.
3. Keahlian anggota komite audit. Tuntutan terhadap anggota komite audit yang qualified merupakan bagian dari upaya untuk mendorong terlaksananya tanggung jawab komite audit.
4. Beban kerja komite audit. Beban kerja komite audit di berbagai perusahaan sangat bervariasi. Namun yang patut dicermati adalah untuk mengatasi berbagai permasalahan audit klasik maupun aktual yang dihadapi perusahaan, peningkatan intensitas pertemuan atau frekuensi rapat komite audit menjadi suatu keharusan.

Berkaitan dengan Peraturan BAPEPAM No. IX.1.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, dengan mempertimbangkan dinamika bisnis dan international best practices, Herwidayatmo menyatakan akan melakukan penyesuaian dan perbaikan atas peraturan tersebut, dengan rincian sebagai berikut:
1. Dalam waktu dekat BAPEPAM akan merevisi ketentuan yang melarang anggota komite audit untuk bertugas di beberapa perusahaan.
2. Mengenai Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, dimana transaksi yang mengandung conflict of interest harus mendapat persetujuan dari pemegang saham independen, dipertimbangkan untuk memberikan wewenang review dan persetujuan dari komite audit terlebih dahulu.
3. Sedang dikaji pemberian kewenangan untuk merekomendasikan auditor eksternal kepada komite audit, yang saat ini merupakan kewenangan direksi.

Manfaat dan Faktor Penerapan GCG

Esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui sepervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Tri Gunarsih, 2003). Untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain diperlukan auditor, komite audit, serta remunerasi eksekutif. GCG memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:
1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.

Manfaat GCG ini bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang dapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era persaingan global. Akan tetapi, keberhasilan penerapan GCG juga memiliki prasyarat tersendiri. Di sini, ada dua faktor yang memegang peranan, faktor eksternal dan internal.

*Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good Government Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan).
d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.
e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.

*Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang menggerakkan organ perusahaan. Yang pasti, jika berbagai prinsip dan aspek penting GCG dilanggar suatu perusahaan, maka sudah dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam persaingan bisnis global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi pertumbuhan bisnisnya, seperti yang dialami oleh raksasa bisnis Enron Inc. di AS beberapa waktu lalu. Dalam kasus Enron ini, sistem kontrol berlapis-lapis ternyata tak bisa mencegah sekelompok pimpinan yang memuaskan ketamakannya untuk kepentingan sendiri. Eksekutif Enron Inc. yang seharusnya berkewajiban moral memberikan data keuangan yang jujur - sebagaimana keharusan perusahaan publik, ternyata tidak melakukan tugas itu. Begitu pula, independent auditor yang semestinya tidak hanya memastikan bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai aturan dan standar akuntansi, tetapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi, ternyata gagal menjalankan perannya.

Prinsip GCG dalam syariah

Dalam ajaran Islam, point-point tersebut diatas menjadi prinsip penting dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim. Islam sangat intens mengajarkan untuk diterapkannya prinsip ’adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), akhlaq (moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah (kecerdasan), tabligh (transparansi, keterbukaan), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ihsan (profesional), wasathan (kewajaran), ghirah (militansi syari’ah), idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah (berfikir positif), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan). Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa Islam jauh mendahului kelahiran GCG (Good Coorporate Governance) yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang baik di dunia.

Prinsip-prinsip itu diharapkan dapat menjaga pengelolaan institusi ekonomi dan keuangan syari’ah secara profesional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan dan best practice yang berlaku. Selain mengatur tata kelola secara mendasar, PBI ini juga mengatur tentang keterkaitan dan tugas serta tanggung jawab yang harus diemban oleh para punggawa syariah compliance, yaitu Dewan Pengawas Syariah. Tugas dan tanggung jawab DPS dilakukan dengan cara, antara lain ; (a) melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank terkait dengan pemenuhan prinsip syariah dan (b) melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank terkait dengan pemenuhan prinsip syariah.
Dua hal ini menjadi sebuah point penting dalam penerapan GCG pada Perbankan Syariah, dari sisi manajemen dan tata kelola perusahaan lainnya, semua telah mengacu kepada rule of the games yang telah ada, dan telah diatur dengan kebijakan intern dan juga PBI, sedangkan untuk DPS, hal ini masih baru dan belum terlalu maksimal pengaturannya. Dewan Pengawas akan sangat berperan dalam menjaga syariah compliance yang berkaitan erat dengan pengelolaan perusahaan dari sisi kebenaran syariah, dan hal ini akan menjadi sangat penting ketika perusahaan akan mengeluarkan produk-produk perbankannya. Sehingga bisa kita simpulkan, selain tata kelola yang baik dari sisi manajemen perusahaan, tata kelola pengawasan dan pengembangan yang dilakukan oleh DPS menjadi tolak ukur mendasar dalam kesuksesan penerapan GCG pada Bank Syariah.

PRINSIP GCG DITINJAU DARI SUDUT PANDANG AGAMA

Konsep tentang GCG secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip-prinsip GCG ternyata selaras, khususnya dengan ajaran agama Islam. Dimensi moral dari implementasi GCG antara lain terletak pada prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip pertanggungjawaban (responsibility), prinsip keterbukaan (transparency) dan prinsip kewajaran (fairness).
Ary Ginanjar Agustian, penulis buku best seller Emotional Spiritual Quotient (ESQ), dalam bukunya yang berjudul “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (2003 : 51-52)”, menyatakan bahwa GCG, sebenarnya adalah sebuah upaya perusahaan untuk mendekati garis orbit menuju pusat spiritual, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggungjawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social awarness (kepedulian sosial). Sikap kejujuran, bertanggungjawab, bisa dipercaya dan diandalkan serta kepekaan terhadap lingkungan social, itulah yang menjadi tujuan GCG. Jika dibandingkan dengan sikap Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu, seperti honest (siddiq), accountable (amanah), cooperative (tablig), smart (fathonah), atau dengan kata lain : jujur dan benar, bisa dipercaya, bertanggungjawab, memiliki kecerdasan serta peduli terhadap lingkungan / sosial. Menurut Ary Ginanjar, perbedaan signifikan terletak pada jenis drive atau motivasinya. Motivasi demi kepemilikan materi dan pemuas ambisi seringkali menjadi dua motif utama sesorang menerapkan GCG. Hasil yang akan diraih apabila GCG bermotif hanya untuk pemuasan materi, akan berujung pada berbagai skandal, seperti Enron Gate, World Com Gate, Arthur Andersen Gate, juga skandal Global Crossing dan Tyco. Pada akhirnya, skandal tersebut berakhir dan bermuara pada kehancuran.
Menurut Umer M. Chapra, dalam Islam and Economic Chalenge (2002) yang dipublikasikan melalui Islamic economic series no. 17 oleh The International Institution of Islamic Thougt , menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi islam yang telah diterapkan pada beberapa negara muslim antara lain menggunakan prinsip syariah yang lebih menekankan pada aspek harmoni. Prinsip syariah erat sekali hubungannya dengan prinsip GCG, karena lebih menekankan pada bagi hasil (profit sharing) yang berarti lebih menonjolkan aspek win-win solution, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam berbisnis.

Burhanuddin Abdullah,Gubernur Bank Indonesia, pada acara 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit di Doha, Qatar, tanggal 24 – 25 Mei 2005 yang lalu, telah menyampaikan pandangan bahwa penerapan GCG di lembaga keuangan Islam perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku secara spesifik di suatu negara maupun nilai-nilai GCG yang berlaku umum di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Menurut Burhanudin, Penerapan GCG dapat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau satu negara dengan negara lain mengingat standar dan prinsip-prinsip GCG sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan standar etika yang ada pada negara tersebut, seperti budaya, ketentuan hukum, business practices, dan kebijakan-kebijakan pemerintah serta nilai-nilai lainnya. Topik yang diangkat dalam pertemuan tersebut adalah upaya pengembangan dan peningkatan efektifitas good corporate governance pada industri jasa keuangan Islam. Pada kesempatan tersebut , Madzlan Mohammad Hussein, Project Manager IFSB, menyatakan bahwa saat ini sedang merumuskan ketentuan tentang GCG untuk lembaga keuangan Islam. Diperkirakan pada tahun 2005 konsep GCG sudah selesai dan bisa diterapkan pada lembaga keuangan Islam, terutama yang menjadi anggota IFSB. Selain itu dalam Forum IFSB tersebut telah disepakati bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai GCG yang bernilai Islami oleh industri jasa keuangan Islam akan berdampak pada tercapainya 3 tujuan penerapan GCG yaitu:
a. Semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada lembaga keuangan Islam.
b. Pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara.
c. Keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.
Lembaga keuangan Islam di Indonesia baik yang bergerak di bidang perbankan, asuransi, reksa dana dan lainnya perlu menjalankan prinsip GCG dalam praktek bisnis sehari-hari. Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) sangat penting agar pelaksanaan GCG di lembaga keuangan Islam dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, DSN perlu melakukan sosialisasi akan pentingnya prinsip GCG untuk meningkatkan kinerja bisnis di lembaga keuangan Islam. Selain itu DSN perlu melakukan kerja sama dengan pihak Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) serta Lembaga yang memiliki concern terhadap implementasi GCG di perusahaan, misalnya Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dan The Indonesian Intitute for Corporate Governance (IICG). KNKCG atau National Committee for Corporate Governance didirikan oleh Pemerintah pada tanggal 19 Agustus 1999. KNKCG telah memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia serta telah menyusun draft Pedoman GCG (Code for Good Corporate Governance) yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam menerapkan GCG.
FCGI yang didirikan pada tanggal 8 Februari 2000 oleh 5 (lima) asosiasi bisnis dan profesi, yaitu Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Eksekutif Keuangan Indonesia / the Indonesian Financial Executives Association (IFEA), Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Perkumpulan Indonesia Belanda / the Indonesian Netherlands Association ( INA), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mensosialisasikan prinsip dan aturan mengenai Corporate Governance kepada dunia bisnis di Indonesia dengan mengacu kepada international best practices sehingga mereka dapat memperoleh manfaat dalam melaksanakan prinsip dan aturan yang sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). IICG merupakan organisasi independen yang didirikan pada tanggal 2 Juni 2000 bertujuan untuk memasyarakatkan konsep, praktek, dan manfaat Corporate Governance kepada dunia usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kehadiran IICG dimaksudkan sebagai wadah pusat pengkajian dan pengembangan masalah Tata Kelola Korporasi di Indonesia. Adanya kerjasama yang erat antara DSN, lembaga keuangan Islam serta Lembaga yang concern terhadap Implementasi GCG tersebut, diharapkan agar keberadaan lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat memberikan manfaat kepada masyarakat (publik), sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat segera terwujud.





Corporate governance yang dalam bahasa indonesia memiliki arti ” tata kelola perusahaan” ini memiliki makna sebagai sebuah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola ini menyangkut hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder), manajemen, dewan direksi dan pihak terkait lainnya. Pada tanggal 30 April 2010 ini Bank Indonesia melalui Surat Edarannya memberikan penegasan terhadap PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Melalui PBI ini diatur kegiatan-kegiatan yang menyangkut dengan check and balance yang harus dilakukan bank dan juga menghindari conflict of interest dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan kulaitas pelaksanaan GCG Bank diwajibkan untuk melakukan self assessment secara komprehensif agar kekurangan bisa segera di deteksi. Dan pada akhirnya Bank akan menyerahkan Laporan penerapan GCG ini kepada stakeholder sebagai sebuah bentuk transparansi yang dilakukan oleh manajemen.


Pelaksanaan Good Corporate Government pada industri perbankan Syariah harus berlandaskan kepada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparancy), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organisasi bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, profesional (proffesional) yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif, dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam dunia bisnis dan beberapa paradigma pemikiran pelaku bisnis, ada beberapa kesimpulan mengenai prinsip-prinsip mendasar yang harus dipegang teguh pada penerapan GCG, yaitu ; Keadilan (fairness), Transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), Tanggung jawab (responsbility), moralitas (morality), komitmen (commitment) dan kemandirian. Prinsip-prinsip inilah yang pada akhirnya diintisarikan menjadi sebuah himbauan yang tersirat dalam PBI No. 11 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.


Template by : kendhin x-template.blogspot.com