Kamis, 06 Januari 2011

Bentuk Moral Hazard

Dalam konteks ini, Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama, bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar (fuzzy). Bentuk korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau inventaris. Korupsi tidak langsung dapat berwujud dalam nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga, sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan “dana taktis”. Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum.

Bentuk korupsi lainnya ialah seperti nepotisme penyaluran kredit yang mengurangi potensi pendatapan bank, nepotisme penerimaan pegawai atau promosi pegawai. Hal ini dapat menzalimi orang lain yang lebih baik, berkualitas dan lebih berhak. Sedangkan korupsi samar-samar merupakan bentuk yang paling potensial sering terjadi, karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar. Contoh berikutnya adalah menggunakan fasilitas asuransi jabatan yang berlebihan, mendapatkan bonus yang melebihi batas kewajaran, mendapatkan pendapatan tambahan yang ditutupi dengan label success fee, atau pegawai yang sering mankir darin tugas dengan berbagai alasan.

Semua bentuk korupsi, baik langsung, tidak langsung maupun samar-samar adalah korupsi yang harus diberantas dengan aturan GCG (Good Corporate Governance) yang jelas. Karena itu, lembaga pengawasan, lembaga audit, dan masyarakat, harus tetap kritis terhadap bank syari’ah. Jangan terpana dengan label syari’ah, karena bisa saja lembaga memakai label syari’ah tetapi prakteknya tidak sepenuhnya syari’ah. Dalam konteks penerapan GCG di bank syari’ah, para bankir syari’ah, harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Kalau tidak, jangan menjadi praktisi bankir syari’ah karena dikhawatirkan mereka hanya akan merusak citra “kesucian” syari’ah di masa yang akan datang.

Nabi Muhammad adalah pelopor penegakan moral dalam setiap aspek kehidupan. Ia bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai bisnis yang diajarkan dan dipraktekan Nabi Muhammad Saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG yang dikembangkan saat ini.




0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com